“Khairunnas anfauhum, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang memberi manfaat bagi orang lain.”


Friday 30 March 2012

SOME POINTS OF MY LIFE


SOME POINTS OF MY LIFE
            Namaku Mimi Manaru. Cerdas, cantik, putih, berambut lurus panjang hitam, ramah, berjiwa sosial dan berasal dari keluarga terpandang – orang-orang sangat sering mendeskripsikanku dengan kata-kata itu. “Itu berkah Tuhan,” ucapku ketika teman-teman mengomentariku berlebihan. Berasal dari keluarga kaya dan memiliki tubuh yang indah kuyakini sebaga berkah dan cobaan dari Tuhan, aku bersyukur karenaNya. Namun yang masih tak kupahami adalah bagaimana orang lain bisa tidak cerdas dan memiliki sikap yang buruk. Benar-benar mengherankan dan mengbingungkan bagiku, bagaimana mereka begitu susah memahami penjelasan guru di kelas, bosan mengulang pelajaran, mendapat nilai yang buruk, berbohong atas sesuatu yang sebenarnya tidak berisiko besar jika dikatakan secara jujur, dan girang ketika guru berhalangan masuk kelas. Rasa penasaranku muncul, aku ingin tahu bagaimana pola pikir mereka.
            “Mimi, bangun sayang!” suara Bunda mengagetkanku. “Sarapannya udah disiapin sama Mbak Noni, Bunda berangkat duluan ya,” Bunda mengecup keningku seraya meninggalkanku yang masih belum sadar sepenuhnya. “Mimiiiii, jangan lupa kamu ada les piano jam dua siang dan seminar bahasa jam lima sore!” ujar Bunda berteriak dari balik pintu. Aku yang masih bermalas-malasan hanya berguman mengiyakan.
            Hari ini hingga dua hari ke depan aku libur sekolah. Tetapi itu tidak berarti hanya bermalas-malasan di rumah. Ayah sibuk dengan pekerjaan di luar kota baru akan kembali minggu depan dan Bunda tidak kalah sibuk mengurus bisnis dan panti sosialnya. Karena keduanya sudah jauh-jauh hari meminta maaf dan merasa benar-benar menyesal (itu apa yang dikatakan Ayah dan Bunda padaku), maka setumpuk brosur berbagai kursus dan info acara disodorkan Bunda. “Mimi, Bunda punya hadiah untukmu. Taraaa!!!” ujar Bunda seraya menebar brosur-brosur itu di meja ruang santai. Sebenarnya aku lebih ingin menghabiskan waktu bersama mereka selama liburan, tetapi egois sekali rasanya jika memaksakan hal itu sementara banyak tanggung jawab pekerjaan meminta untuk diselesaikan. Kupikir tidak begitu buruk menghabiskan masa liburan dengan kegiatan bermanfaat, toh itu akan menambah wawasanku. “Oh iya, kamu bebas memilih jumlah kursusnya, tetapi tolong sesuaikan dengan jadwal sekolah, belajar, dan ekskul ya. Bunda ngga pengen anak semata wayang Bunda punya nilai jelek loh. Is it okay, sweety?” ucap Bunda seraya mengedipkan matanya.
            Bunda segalanya bagiku. Bunda paling mengerti bagaimana memperlakukanku. Aku menyukai setiap hal tentangnya. Menurutku, Ayah sangat beruntung mempunyai istri seperti Bunda. Bunda tidak pernah bersuara keras, bahkan ketika marah pun ia selalu bisa mengendalikan diri dan menggantinya menjadi nasihat-nasihat yang membuatku menangis merasa bersalah. Bunda juga tidak pernah mengabaikan sekecil apapun detail tentang diriku. Seperti hari ini. Meskipun sangat sibuk, ia menyempatkan diri merencanakan liburan menyenangkan dan bermanfaat agar aku tidak kesepian di rumah.
            “Mbak Noni, makasih ya sarapannya. Aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum,” ucapku buru-buru.
            “Neng Mimi mau kemana? Lesnya kan baru mulai siang nanti,” tanya Mbak Noni keheranan.
            “Mimi mau main ke rumah teman. Pak Dodo juga ngga usah anterin aku. Mbak ngga usah laporan ke Bunda ya. Janji ngga bolos lesnya,” Mimi mencoba bernegosiasi dengan Mbak Noni. Ia menebar senyum termanis seraya mengedipkan sebelah matanya tanda persekongkolan.
            “Ya sudah. Hati-hati ya. Jangan lupa les sama seminarnya,” pesan Mbak Noni.
           
            Senang rasanya berada diluar rumah barang sejenak. Tak peduli polusi yang ditimbulkan kendaraan atau pabrik-pabrik yang banyak itu, melihat langit biru dan awan-awan dengan berbagai bentuknya cukup mendamaikan hati. Aku akan mengunjungi Afika. Sudah seminggu sejak kecelakaan yang menimpanya, Afika belum juga pulih dan masuk sekolah. Afika tinggal bersama ibunya – Ayah dan Ibunya berpisah sejak ia masih dalam kandungan Ibunya. Latar belakang keluarga yang kelam tidak membuatnya menjadi anak yang berperilaku buruk seperti kebanyakan anak dari broken home family. Ia berbeda dan mengagumkan.
            Aku menikmati pertemanan kami – aku dan Afika. Dia bukan benalu bagiku. Aku tidak menganggapnya rival seperti yang lain. Kesederhanaannya menentramkan siapa saja yang dekat dengannya. Aku tidak memiliki hal seperti itu, sesuatu yang membuat banyak orang dengan ikhlas ingin mengenalku dan menjadi temanku. Kadang perasaan itu membuatku iri, tetapi rasanya sangat salah jika mencemburui Afika dengan segala kemalangan hidupnya. Bukankah aku punya kehidupan yang tidak kalah hebat? Serakah sekali rasanya jika menginginkan seluruh dunia menjadi milikku.
            Kuketuk pintu rumahnya dan mengucap salam. Tidak ada jawaban selama beberapa saat. Pada kali ketiga aku mengucap salam, barulah ada suara sepatu yang ber-tak tik tok menuju pintu. Seseorang dengan usia paruh baya membukakan pintu untukku. Aku disuruhnya langsung ke kamar Afika.
            Keadaannya benar-benar memprihatinkan. Bukan karena lukanya yang parah, tetapi ia terlihat sangat tidak ceria dan tatapannya begitu kosong. “Assalamu’alaikum Ka.”
            “Wa’alaikumsalam.”
            “Gimana keadaanmu?” tanyaku lirih.
            “As like as you can see,” jawabnya tersenyum paksa.
            “Cepat sembuh ya. Maaf baru sempat jenguk hari ini.” Aku merasa sangat tidak enak, Afika pasti sangat bosan dan kesepian harus berbaring sepanjang hari tanpa ada yang menemani.
            “Mi, ngga apa-apa. No need to worry. I’ll fine soon,” ucapnya tak yakin. “Thanks udah mau jenguk aku. Sepi banget disini,” curhatnya padaku. “Mama belum pulang sejak dua minggu yang lalu dan nomor handphonenya pun susah dihubungi. Untung ada Bu Nana, dia yang merawatku selama seminggu ini. Aku berhutang banyak sekali padanya,” Afika menatap kosong, lagi. Matanya berkaca-kaca, banyak kepedihan yang tersimpan rapat dalam hatinya yang kapan pun bisa meledak. “Hmm entah mama masih ingat atau tidak padaku,” gumamnya lirih. “Aku berusaha untuk mengacuhkan segalanya, keberadaan mama yang seperti bayangan, timbul tenggelam, dan hidup tanpa mengetahui siapa ayahku. Aku tahu Mi, aku masih lebih beruntung dibanding banyak anak yatim piatu diluar sana, yang harus menafkahi hidup mereka sendiri. Tetapi mengharapkan mama peduli padaku, apa itu salah?” tanyanya lebih kepada dirinya sendiri.
            Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Aku tidak bisa benar-benar merasakan apa yang dirasakan Afika karena aku tak pernah mengalami hal itu. Ayah dan Bunda memang kerap kali meninggalkan rumah dalam waktu yang lama, tetapi mereka tidak pernah lupa menanyakan kabarku. Bahkan dalam sehari Ayah dan Bunda berkali-kali menghubungiku hanya untuk memastikan aku sudah makan atau belum, sudah sampai di rumah atau belum, dan banyak hal sepele lainnya. Aku tidak tahu kalau Afika sebegitu sengsaranya. Kupikir dia gadis terkuat yang pernah kukenal. Dibalik wajah mentarinya, ia menyimpan gelap yang merapuhkannya. Aku menyadari sesuatu hal, orang yang terlihat sangat kuat dan ceria, terkadang adalah orang yang paling rapuh.
            Aku bingung harus menasehati apa agar membuatnya sedikit terhibur. “Ka, aku tahu ini berat untukmu. Tetapi cobalah untuk berdamai dengan keadaan dan ikhlaslah menjalani semuanya. Kamu kan yang sering bilang Allah selalu bersama kita. Maka kali ini pun Ia pasti bersamamu. Mungkin karena keimananmu yang cukup baik, makanya cobaanmu berat,” upss salah. Bukan begitu cara menasehati yang baik, pikirku bingung menyusun kata-kata. “Maksudku, bukankah Allah tidak akan memberi cobaan melampaui batas kemampuan umatnya? So, no need to sad all the times,” ucapku mencoba bijak.
            Tak terasa jam hampir menunjukkan pukul 14.00. Aku harus buru-buru ke tempat les kalau tidak ingin terlambat. Sebenarnya tidak tega meninggalkan Afika sendiri lagi, tapi kalau tidak berangkat sekarang, Bunda pasti mengomel. “Ka, aku harus pergi sekarang. Besok aku mampir lagi kok. Janji,” ucapku takut-takut. Afika hanya mengangguk tersenyum. Kali ini senyumannya tulus dan ia terlihat lebih ceria. Thanks to God yang sudah membuat hatinya kembali ceria.
            Les, seminar, kunjungan ke museum dan science center, les lagi dan lagi, seminar lagi dan lagi, akhirnya ditutup dengan belanja dan jalan-jalan bersama Ayah dan Bunda. Tiga hari yang melelahkan tetapi sangat menyenangkan. Kejutan dari Ayah yang pulang lebih cepat dari yang seharusnya membuatku girang. Kadang jika sedang berpikir sendiri, aku begitu takut hari-hariku berubah menjadi buruk. Waktu yang telah aku lalui begitu berharga dan aku ingin terus seperti itu selamanya. Aku selalu menangis saat membayangkan dugaan-dugaan terburuk yang bisa terjadi dalam hidupku. Karenanya dengan segenap hati aku berusaha memberikan dan menjadi yang terbaik untuk Ayah dan Bunda.  
*****
            “Sekolah lagi, belajar lagi, bertemu banyak teman lagi, bright day…,” gumamku tak jelas. Sampai di sekolah aku langsung ke kelas Afika, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangannya hingga beberapa saat dan aku pun menuju kelasku sendiri. Kulihat semua sibuk mengerjakan tugas Bu Audrey. Dan tiba-tiba…
            “Mimiiiiiiiiiiiiii, ya ampun lama kali kau muncul,” teriak Dani dengan logat bataknya, antara sebal, mengeluh dan gelisah.
            “Suka-suka gue dong mau datang jam berapa. Kenapa? Mau pinjem tugas lagi lu? NO WAY!” dezzzz, kata-kataku telak mengena sasaran. Ia terkejut mendengar penuturanku yang tanpa basa-basi. Sebenarnya aku tidak keberatan dengan kebiasaan buruk teman-teman yang kurang peduli dengan pelajaran. Di satu sisi itu menguntungkan. Semakin sedikit anak-anak yang serius belajar, sedikit pula sainganku di kelas. Tetapi, aku benci persaingan yang biasa-biasa, tidak ada tantangan yang berarti. Pada akhirnya perlahan-lahan aku akan seperti mereka.
            “Ah pelit kali kau,” gerutunya sebal. Tetapi kemudian, “kita barter,” ujarnya lebih pada diri sendiri. “Kau beri aku contekan, pada kali berikutnya kau menyontek punyaku. Bagaimana?” ia mencoba bernegosiasi denganku. Wajahnya dibuat seekspresif mungkin agar aku tertarik.
            “Butet, berani kali kau,” candaku mengikuti logat bataknya. “Kayak yang rajin ngerjain tugas aja. Boleh aja, kita barter. Gue pinjemin ni tugas, lu harus mau gue wawancara. Deal?”
            Dani menjadi berbinar-binar. “Gampang kali itu. Tapi pinjamlah dulu tugas kau, urusan wawancara bisa kita lakukan nanti setelah istirahat,” ujarnya lagi.  
            Akhirnya usai sudah perjumpaan dengan Bu Audrey yang cukup menegangkan. Beliau tidak bisa dibilang “killer”, tetapi juga sangat tidak benar jika menyebutnya “easy going person”. Aturan-aturan kedisiplinannya yang ketat dan pembawaannya yang selalu serius membuat kami harus memaksa diri menyimak dengan baik penjelasannya, meskipun otak, mata dan hati menolak mentah-mentah.
Belajar matematika selama kurang lebih tiga jam cukup membuat kepala cenat-cenut. Meskipun menarik, tetapi harus kuakui aku tidak begitu menikmatinya. Materi penerapan trigonometri mencari luas bangun benar-benar memusingkan. Tahapan penyelesaian yang bertele-tele, mencari sudut, garis perpotongan yang tidak tahu berapa panjangnya, dan segala tetek bengeknya membuatku harus berpikir keras untuk memahami semuanya. And I hate that.
            Aku sedang latihan mengerjakan soal Bu Audrey ketika Dani datang menghampiriku. “Okay madam. Mr. Dani Gunawan from International Science Corporation ready to interview right now,” candanya dengan wajah sok penting.
            “Dan… Dan… Lagak lu udah kayak pejabat teras aja.”
            “I’ll be the next leader in this country, don’t you know that?”
            “Udah-udah, stop becandain gue. That’s annoying, you know,” ujarku pedas. “Gue pengen tahu kenapa kalian malas belajar, malas ngerjain tugas, dan malas-malas lainnya?” tanyaku serius.
            “Begini,” ucapnya memulai, tidak kalah serius. Aku jadi geli berada dalam diskusi kurang penting tetapi penuh keseriusan.
            “Butet, tak usah berlebihan. Biasa saja kau. Tak usah sok serius begitu,” kataku menahan senyum geli.
            “Alamak. Kau ini, menyela terus. Bagaimana bisa aku konsentrasi. Diamlah Mimi,” ujarnya serius. “Aku harus memberikan penjelasan yang konkrit, apa tak rugi kau kalau aku menjawab asal-asalan, padahal berlembar-lembar tugasmu kucontek?” tanyanya padaku.
            “Oke, gue tutup mulut. Now, please explain!”
            “Sebenarnya Mimi, semua orang cerdas. Kau hanya tidak mengerti makna kecerdasan itu,” Dani memulai dengan argument yang terkesan menjatuhkanku.
            “Apa? Lu bilang gue ngga ngerti cerdas itu apa!” selaku terkejut. Sedikit mengesalkan, tapi mari dengar penjelasannya.
            “Hey  hey. Berhentilah dulu menginterupsi,” ujarnya kesal. “Meskipun kau termasuk yang pandai berhitung, menganalisis, dan imajinatif tetapi pastilah kau punya kelemahan,” jelasnya dengan mimik wajah serius.
            “Loh, lu kok jadi ngritik gue sih. Kan yang wawancara gue, kenapa jadi lu yang jatohin gue,” Dani benar-benar mengesalkan. “Gue nanya kenapa kalian malas belajar, BUKAN makna kecerdasan!”
            Dani terkejut dengan reaksiku. “I’m sorry-lah Mi. Didn’t mean to hurt you,” ucapnya tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Maksudku begini, kami bolehlah malas belajar dan tidak setertarik kau saat mendengar penjelasan guru, tetapi tidak berarti kami tidak cerdas. Istilah kerennya, itu bukan passion kami,” jelasnya. “Seperti sudah kubilang, kau boleh saja brilliant di sekolah, tetapi belum tentu jika kutantang main catur kau bisa mengalahkanku. Kakek buyutku, Kakek Howard Gardner pernah menjelaskan tentang hal ini,” candanya untuk membuatku berhenti berteriak-teriak. “Kira-kira begini teorinya, “the human beings are smart in many ways”. Jadi, pandaimu dalam sains tidak berarti kau pandai dalam segala hal. Kau mungkin pandai juga dalam pelajaran bahasa dan punya intrapersonal intelligence yang baik. Tetapi jujur saja, dibanding temanmu si Afika itu, kau pasti kalah dengannya dalam hal interpersonal. Kau tidak begitu pandai dalam membangun hubungan yang baik dengan teman. Kau juga kurang peka dengan perasaan orang lain. Kesimpulannya, setiap orang punya kecerdasannya masing-masing. Kau tahu Mimi, aku berpikir Tuhan menakdirkanku menjadi seorang diplomat hebat. Aku hebat dalam hal negosiasi…,” Mimi tiba-tiba memotong penjelasannya.
            “Sudahlah Butet. Berhenti memuji diri sendiri. Geli gue dengernya,” ujarku ketus. “Tapi terima kasih untuk penjelasannya. I got some points from them,” ucapku tersenyum. “Baik kali kau Butet,” tambahku seraya tertawa. “Ternyata lu pengamat yang baik ya dan punya pengetahuan yang cukup luas. I think you will be a great diplomat.”
            “Nah itu dia salah satu kelemahan kau. Don’t judge a book from its cover.”

No comments:

Post a Comment