“Khairunnas anfauhum, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang memberi manfaat bagi orang lain.”


Friday 30 March 2012

Berkah Idul Adha-ku Datang Darinya


Berkah Idul Adha-ku Datang Darinya

            Biasa saja. Tak ada yang istimewa dengan idul adha tahun ini. Mungkin hanya tradisi pemotongan hewan kurban yang membedakannya dengan hari-hari lain. Sehari sebelum hari idul adha, aku benar-benar galau. Tak sedikit pun hatiku tersentuh atau bahkan terbersit pikiran dan perasaan berbeda seperti yang kurasakan ketika idul adha menjelang pada tahun-tahun yang lalu. Apakah tak ada berkah idul adha untukku di tahun ini ya Rabb?
            Kuputuskan untuk jalan-jalan ke mall. Hang out sendirian benar-benar tak ada asiknya, tetapi duduk menonton TV atau membaca novel di rumah lebih tak asik lagi – karena aku melakukan hal itu sepanjang hari di rumah. Gramedia, ya aku memilih untuk kesana sebagai tujuan pertama. Satu persatu kutelurusi buku-buku yang tertata rapi berjejeran di rak-raknya, ingin sekali memiliki perpustakaan sebesar toko buku ini. Khayalan ini selalu memenuhi otakku dan aku berjanji suatu saat ini akan menjadi kenyataan. Perpustakaan pribadi untuk umum – “Risty’s Library”.
            Banyak sekali orang yang berkunjung hari ini, mungkin karena ini hari libur. Ada modeling contest dengan tema buah di lantai dasar, pameran buah, dan penyaluran donasi dompet dhuafa. Ramai sekali. Selesai membaca beberapa dongeng-dongeng import, akhirnya tiga buku dengan genre berbeda kubeli. “Permisi mbak, ngga sekalian sama buku Mimpi Sejuta Dolar karya Mariana Renata?” tanya kasirnya.
            “Umm bukunya tentang apa ya? Novel ya itu?” tanyaku seraya mengambil salah satu buku karya Mariana Renata dan membaca prolognya.
            “Itu tentang perjalanan hidup Mariana Renata sampai ia akhirnya menjadi pengusaha di Singapura,” jelasnya padaku. “Lagi booming loh mbak, penjualan terbaik bulan ini,” tambahnya mencoba merayuku.
            Aku belum begitu tertarik untuk membacanya, mungkin lain kali. “Maaf mbak, mungkin lain kali saja,” ucapku seraya tersenyum dan meninggalkan meja kasir.
            Cokelat. Selanjutnya adalah membeli cokelat. Let me go to hipermart. Setelah puas memilih aneka biskuit cokelat, cokelat batang, permen cokelat - everything about chocolate dan melihat-lihat pameran buah, aku memilih untuk pulang.
Dalam perjalanan pulang, anak kecil pengamen jalanan menyanyikan lagu bernada sumbang di dalam angkutan kota yang aku tumpangi. Muncul rasa iba dan penyesalan dalam hatiku, betapa kehidupanku jauh lebih baik tetapi mengapa aku kufur akan nikmatMu ya Rabb? Tak seharusnya aku seperti ini. Kuberikan selembar uang lima ribu rupiah dan satu cokelat batang yang baru saja kubeli tadi. Ia mengecek kembali uang yang kuberikan, wajahnya menjadi riang. “Terima kasih kak, terima kasih,” ucapnya sumringah. Uang lima ribu rupiah saja sudah cukup membuat senyum bahagia merekah di wajahnya, bagaimana denganku? Dimana rasa syukurku dengan berbagai kemudahan hidup yang diberikanMu ya Rabb? Aku benar-benar malu.
Kuingat-ingat peristiwa kecil itu, mataku berkaca-kaca. Tetapi ada rasa lapang di dadaku karena telah berbagi. Aku belajar tentang rasa syukur dan indahnya berbagi dari seorang anak jalanan. Entah mengapa, rasanya aku lebih bahagia menyambut idul adha. Meskipun jauh di rantau, tanpa orangtua dan sanak saudara, idul adha terasa indah. Inikah berkah idul adha itu? Di hari idul adha itu, aku berjanji untuk lebih sering bersedekah.
Esok harinya, ujian tengah semester yang belum selesai dilanjutkan fakultas. Entah mengapa semangat belajarku membuncah, rasa malas yang menyerang dengan mudah kutangkis. Aura positif dan hal-hal baik bermunculan dalam diriku sejak peristiwa dua hari yang lalu. Kulangkahkan kakiku menuju kampus dengan pasti. “Hari ini harus berhasil,” ucapku dalam hati. Belajarku sudah cukup, tinggal mengulang-ulang beberapa bagian yang masih sulit untuk aku hafalkan.
Aku bertemu seorang pemulung wanita, ia terlihat begitu renta. Mungkin umurnya sekitar limapuluh tahun. Seandainya itu mama, oh aku benar-benar tak tega melihatnya. Ia memungut sampah-sampah plastik bekas minuman, mencarinya dalam tong sampah dan sepanjang jalanan di areal kampus.
“Bu, Ibu!!!” teriakku. “Tunggu sebentar,” ujarku ngos-ngosan. Aku mempercepat langkah lebih tepatnya berlari mengejarnya. “Ini untuk Ibu, semoga dapat bermanfaat,” ujarku seraya memberikan selembar uang limapuluh ribuan.
Ia menatapku lekat-lekat, “terima kasih banyak neng, terima kasih banyak.” Kubalas tatapannya dan tersenyum lebar. Hatiku mengembang, dan benar-benar lapang. Aku begitu bahagia karena dapat berbagi, meskipun sesungguhnya itu adalah uang pemberian papa untukku.
“Terima kasih juga telah mengajarkanku arti berbagi,” gumamku dalam hati seraya meninggalkan tempat itu.
Rasanya banyak sekali hal-hal baik yang datang padaku setelahnya. Tanpa kuduga-duga, seorang teman mengabarkan nilai UTS-ku yang lumayan bagus. Teman lama yang sudah kuanggap saudara, menghubungiku. Aku diberi uang saku tambahan oleh kakakku. Dan puncaknya adalah resah dan gundah yang setiap hari membayangiku akan banyak hal yang tak kutahu pasti itu apa, hilang begitu saja tergantingkan oleh perasaan bahagia. Itu benar-benar membuatku merasa damai. Hari itu begitu menyenangkan dan berlanjut hingga beberapa hari kedepan. Aku jadi ketagihan untuk berbagi. Tidak ada ruginya berbagi, mungkin janji Tuhan untuk menggantinya dengan rejeki yang berlipat-lipat tidak diberikanNya dalam bentuk yang nyata, tetapi melalui kepuasan-kepuasan batin dan kebahagiaan yang lebih dari sekedar uang dalam nominalnya.

No comments:

Post a Comment