Berkah
Idul Adha-ku Datang Darinya
Biasa saja. Tak ada
yang istimewa dengan idul adha tahun ini. Mungkin hanya tradisi pemotongan
hewan kurban yang membedakannya dengan hari-hari lain. Sehari sebelum hari idul
adha, aku benar-benar galau. Tak sedikit pun hatiku tersentuh atau bahkan
terbersit pikiran dan perasaan berbeda seperti yang kurasakan ketika idul adha
menjelang pada tahun-tahun yang lalu. Apakah tak ada berkah idul adha untukku
di tahun ini ya Rabb?
Kuputuskan untuk jalan-jalan ke
mall. Hang out sendirian benar-benar tak ada asiknya, tetapi duduk menonton TV
atau membaca novel di rumah lebih tak asik lagi – karena aku melakukan hal itu
sepanjang hari di rumah. Gramedia, ya aku memilih untuk kesana sebagai tujuan
pertama. Satu persatu kutelurusi buku-buku yang tertata rapi berjejeran di
rak-raknya, ingin sekali memiliki perpustakaan sebesar toko buku ini. Khayalan
ini selalu memenuhi otakku dan aku berjanji suatu saat ini akan menjadi
kenyataan. Perpustakaan pribadi untuk umum – “Risty’s Library”.
Banyak sekali orang yang berkunjung
hari ini, mungkin karena ini hari libur. Ada modeling contest dengan tema buah
di lantai dasar, pameran buah, dan penyaluran donasi dompet dhuafa. Ramai
sekali. Selesai membaca beberapa dongeng-dongeng import, akhirnya tiga buku
dengan genre berbeda kubeli. “Permisi mbak, ngga sekalian sama buku Mimpi
Sejuta Dolar karya Mariana Renata?” tanya kasirnya.
“Umm bukunya tentang apa ya? Novel
ya itu?” tanyaku seraya mengambil salah satu buku karya Mariana Renata dan
membaca prolognya.
“Itu tentang perjalanan hidup
Mariana Renata sampai ia akhirnya menjadi pengusaha di Singapura,” jelasnya
padaku. “Lagi booming loh mbak, penjualan terbaik bulan ini,” tambahnya mencoba
merayuku.
Aku belum begitu tertarik untuk
membacanya, mungkin lain kali. “Maaf mbak, mungkin lain kali saja,” ucapku
seraya tersenyum dan meninggalkan meja kasir.
Cokelat. Selanjutnya adalah membeli
cokelat. Let me go to hipermart. Setelah puas memilih aneka biskuit cokelat,
cokelat batang, permen cokelat - everything about chocolate dan melihat-lihat
pameran buah, aku memilih untuk pulang.
Dalam
perjalanan pulang, anak kecil pengamen jalanan menyanyikan lagu bernada sumbang
di dalam angkutan kota yang aku tumpangi. Muncul rasa iba dan penyesalan dalam
hatiku, betapa kehidupanku jauh lebih baik tetapi mengapa aku kufur akan
nikmatMu ya Rabb? Tak seharusnya aku seperti ini. Kuberikan selembar uang lima
ribu rupiah dan satu cokelat batang yang baru saja kubeli tadi. Ia mengecek
kembali uang yang kuberikan, wajahnya menjadi riang. “Terima kasih kak, terima
kasih,” ucapnya sumringah. Uang lima ribu rupiah saja sudah cukup membuat
senyum bahagia merekah di wajahnya, bagaimana denganku? Dimana rasa syukurku
dengan berbagai kemudahan hidup yang diberikanMu ya Rabb? Aku benar-benar malu.
Kuingat-ingat
peristiwa kecil itu, mataku berkaca-kaca. Tetapi ada rasa lapang di dadaku
karena telah berbagi. Aku belajar tentang rasa syukur dan indahnya berbagi dari
seorang anak jalanan. Entah mengapa, rasanya aku lebih bahagia menyambut idul
adha. Meskipun jauh di rantau, tanpa orangtua dan sanak saudara, idul adha
terasa indah. Inikah berkah idul adha itu? Di hari idul adha itu, aku berjanji
untuk lebih sering bersedekah.
Esok
harinya, ujian tengah semester yang belum selesai dilanjutkan fakultas. Entah
mengapa semangat belajarku membuncah, rasa malas yang menyerang dengan mudah
kutangkis. Aura positif dan hal-hal baik bermunculan dalam diriku sejak
peristiwa dua hari yang lalu. Kulangkahkan kakiku menuju kampus dengan pasti.
“Hari ini harus berhasil,” ucapku dalam hati. Belajarku sudah cukup, tinggal
mengulang-ulang beberapa bagian yang masih sulit untuk aku hafalkan.
Aku
bertemu seorang pemulung wanita, ia terlihat begitu renta. Mungkin umurnya
sekitar limapuluh tahun. Seandainya itu mama, oh aku benar-benar tak tega
melihatnya. Ia memungut sampah-sampah plastik bekas minuman, mencarinya dalam
tong sampah dan sepanjang jalanan di areal kampus.
“Bu,
Ibu!!!” teriakku. “Tunggu sebentar,” ujarku ngos-ngosan. Aku mempercepat
langkah lebih tepatnya berlari mengejarnya. “Ini untuk Ibu, semoga dapat
bermanfaat,” ujarku seraya memberikan selembar uang limapuluh ribuan.
Ia
menatapku lekat-lekat, “terima kasih banyak neng, terima kasih banyak.” Kubalas
tatapannya dan tersenyum lebar. Hatiku mengembang, dan benar-benar lapang. Aku
begitu bahagia karena dapat berbagi, meskipun sesungguhnya itu adalah uang
pemberian papa untukku.
“Terima
kasih juga telah mengajarkanku arti berbagi,” gumamku dalam hati seraya
meninggalkan tempat itu.
Rasanya
banyak sekali hal-hal baik yang datang padaku setelahnya. Tanpa kuduga-duga,
seorang teman mengabarkan nilai UTS-ku yang lumayan bagus. Teman lama yang
sudah kuanggap saudara, menghubungiku. Aku diberi uang saku tambahan oleh
kakakku. Dan puncaknya adalah resah dan gundah yang setiap hari membayangiku
akan banyak hal yang tak kutahu pasti itu apa, hilang begitu saja tergantingkan
oleh perasaan bahagia. Itu benar-benar membuatku merasa damai. Hari itu begitu
menyenangkan dan berlanjut hingga beberapa hari kedepan. Aku jadi ketagihan
untuk berbagi. Tidak ada ruginya berbagi, mungkin janji Tuhan untuk
menggantinya dengan rejeki yang berlipat-lipat tidak diberikanNya dalam bentuk
yang nyata, tetapi melalui kepuasan-kepuasan batin dan kebahagiaan yang lebih
dari sekedar uang dalam nominalnya.
No comments:
Post a Comment