“Khairunnas anfauhum, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang memberi manfaat bagi orang lain.”


Saturday 31 March 2012

A Wish


A Wish
Dunia, lihat aku disini…
Aku yang bersama air mataku terus hanyut dalam harapan…
Hari-hari cerah untuk jiwa yang hampa…
Jiwa rapuh yang terbungkus raga baja…
Hidupku mengalir lebih deras dari air terjun Niagara…
Rodanya berputar lebih cepat dari jet sekalipun…
Tak tahu kapan wish mulia itu terkabulkan…
Tuhan, tolong jangan lelah dengar pintaku…
            Aiza lupa puisi berjudul wish itu adalah puisi keberapa yang ditulisnya malam ini. Beginilah aktivitas seorang Aiza saat hatinya sedang tak karuan. Entah apa yang sedang mengganggu benaknya malam itu. Dengan penerangan seadanya yang berasal dari lampu berkekuatan lima watt, tak sama sekali membuatnya merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, lampu lima watt itu adalah sahabat terbaiknya yang berjasa besar dalam mahakarya sastra yang diproduksinya.
            “Dek, makan dulu sana. Nanti kamu sakit loh,  dari tadi nulis aja. Masih ada sisa tempe goreng tadi siang, makan gih,” bujuk Ariz setengah memaksa. Merasa tidak mendapat tanggapan, dengan gerakan cepat ia mengangkat dan menggendong paksa Aiza menuju ruang makan sederhana mereka. Aiza hanya bisa berteriak-teriak dan memberontak minta diturunkan. Beginilah kehidupan kakak beradik dari keluarga sederhana ini.
            Walaupun terus dicoba, mata Aiza tidak kunjung tertutup, padahal waktu sudah menunjukan setengah satu pagi. Peristiwa siang tadi begitu membekas dibenaknya hingga menjadi buah pikirannya. Kamar persegi panjang berukuran 2x3 meter bujursangkar dengan dinding bambu itu menjadi tempat ia berkeluhkesah, mencurahkan seluruh hasratnya,  tempat dimana ia kadang tersenyum-senyum lama sendiri, menangis haru membayangkan suatu saat yang indah, saat secret wishnya terkabul.
            Fattah, teman sekelas Aiza siang tadi dengan berat hati harus meninggalkan sekolah. Ia menyampaikan pengunduran dirinya dari SMA Monondok karena alasan klasik tapi mengharukan. Adiknya sakit keras, ibunya hanya berpenghasilan sebagai buruh cuci, sementara ayahnya pergi entah kemana sejak sebulan lalu tanpa kabar berita sama sekali. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa Fattah harus mengambil keputusan itu, keputusan yang menentukan masa depannya. Aiza terus memandang Fattah hingga bayangannya hilang di ujung jalan, dilihatnya Fattah berhenti sejenak memandang hikmat sekolah itu, kemudian menunduk dan dengan langkah berat berjalan pulang ke peraduannya, memikirkan bagaimana ia nantinya.
            “Ini benar-benar tidak adil,” ujar Aiza pada dirinya sendiri. “Seharusnya Tuhan mengerti dengan keadaannya, seharusnya Tuhan tahu betapa berartinya sekolah bagi Fattah, seharusnya ini tidak perlu terjadi,” keluhnya setengah berteriak. Air matanya jatuh berderai, Fattah teman terbaiknya, teman seperjuangannya. Mereka sama-sama berasal dari keluarga sederhana, setiap hari berbagi suka duka di sekolah, berdiskusi masalah pelajaran, bermain bersama, rasanya hambar tanpa kehadiran Fattah lagi. Aiza tidak yakin ia bisa sebahagia dulu, setiap memasuki gerbang SMA Monondok ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, rasa yang membuat semangatnya membuncah untuk menuntut ilmu ketika melihat teman-teman sesama pelajar di sekolah itu hilir mudik menuju kelas masing-masing dengan seragam kebanggaan mereka, putih abu-abu kumal yang kadang terpaksa digunakan selama tiga tahun penuh karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan.
            Malam itu pikiran Aiza bercabang-cabang. Belum tuntas memikirkan sahabatnya yang malang, hal lain melintas di benaknya. Aiza merenungi kehidupannya yang boleh dikatakan cukup mapan walaupun sangat sederhana. Tetapi setidaknya ia masih bisa merasakan indahnya duduk di bangku sekolah. Syukur nikmat, itu pasti. Karena semua berkah itu tak akan pernah singgah di kehidupannya tanpa campur tangan Allah subhana wata’ala. Ketika tatapannya menerawang jauh, tak jelas apa yang sebenarnya ingin dilihat, sekilas ia tanpa sengaja memandang foto ibunya ketika sedang memanen padi di pigura tua penuh sejarah yang terpajang berhadapan ranjang tidurnya. Senyum ibunya merekah,  Aiza dapat merasakan perasaan ibunya saat itu. Musim panen adalah waktu yang selalu dinantikan para petani, apalagi ketika kerja keras mereka berbuah keberhasilan. Sejauh mata memandang, sawah telihat bagaikan hamparan lautan emas, kuning-kuning biji padi bergoyang lembut tersapu angin sepoi-sepoi. Di sana-sini para petani dengan giatnya menyabit batang padi, keringat yang meleleh bukanlah hal yang berarti.
            Melihat foto itu, membuat sel saraf dendrit terdorong menyampaikan impuls dari indera penglihatan ke neuron untuk dilanjutkan ke otak oleh akson, dan menghasilkan respon haru dalam hati Aiza. Ayah dan Ibunya telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ia menyesal karena kadang mengabaikan kenyataan itu, kenyataan bahwa setiap tetes keringat orangtuanya adalah setiap hembus nafasnya, nafas yang menyambung hidupnya hingga hari ini bahkan detik ini, saat penyesalan mendalam itu menderanya. Tak seharusnya ia membanding-bandingkan kehidupannya yang kadang kekurangan dengan orang lain yang lebih mapan hidupnya. Padahal banyak sekali orang di luar sana yang untuk makan pun tak mampu. Astaghfirullahaladhim, ya Allah.
            Tanggul pertahanan matanya tak kuat lagi menampung banjir air mata yang siap meluap. Dan akhirnya pertahanan itu jebol oleh tekanan batin yang mahadahsyat. “Aku harus bisa membahagaikan orangtuaku, keluargaku,” ucapnya lirih. Kemudian dengan syahdu, Aiza membuat sebuah wish yang hanya Allah dan dia yang tahu. Wish mulia yang tak tahu kapan akan terwujud. Ia hanya berharap suatu saat wish itu menjadi kenyataan.

Bersambung…
           

Gelap


Gelap

Perpisahan…
Gelap pertamaku yang menusuk kalbu
Hilang jiwa terang, hilang berlian asaku

Kehilangan…
Gelap keduaku yang menyayat kalbu
Tak ada cahaya, tak ada pencerahan

Kematian…
Gelap ketigaku yang mencabik-cabik jiwa
Aku sesak, segalanya dirampas dariku

Ada Allah membisikkan harapan
Meniupkan semangat
Mengelus-elus raga
Tapi aku terlalu gelap untuk sekedar menyadarinya

Neraka Dunia


Neraka Dunia

Kong kaling kong
Itu warna dunia kita
Penuh tipu muslihat
Sangat menarik

Neraka… Neraka… Neraka…
Tidakkah kalian sadari kita telah menjumpainya?
Tuhan  telah banyak menegur dengan caraNya
Pernahkah kita mengindahkannya?

Beliung, hujan badai, banjir bandang, gempa, gunung meletus, kecelakaan, wabah penyakit, kelaparan
Tidakkah itu cukup membukakan mata lebar-lebar…
Tidakkah itu cukup memiriskan hati…
Tidakkah itu cukup menyadarkan kita bahwa Tuhan murka, murka, sangat murka

Wahai manusia…
Dimanalah kita pada akhirnya berada
Mengapa begitu giat melakukan kejahatan
Mengapalah menjadikan iblis sebagai teman
Padahal banyak malaikat di sekeliling kita

Tidakkah neraka dunia cukup membuat kita ketakutan akan neraka akhirat?

Dia Dirimu


Dia Dirimu

Dia dirimu…
Yang sama bermimpi menjelajah galaksi
Yang sama gilanya menerawang angkasa
Yang sama menderita demi menggapai bintang

Dia dirimu…
Yang berseri-seri saat menghayalkan mimpi
Yang membuncahkan semangat saat ragu
Yang diam mendengar saat duka
Yang penuh petuah saat salah

Dia dirimu…
Yang mengagumkan
Yang mengejutkan
Yang penuh imajinasi
Yang penuh kehangatan
Yang penuh mimpi masa depan

Dia dirimu… kawan.

NB: For my beloved friend who always inspiring me at all times. Huge thanks for you. Keep on fire, dreamer! Keep istiqomah, fastabiqul khairaat!


Shadow


Shadow

Aku pernah mengenalmu
Dulu, bertahun-tahun yang lalu
Kau berbeda, sangat berbeda
Angkuh, skeptis, dan misterius
Tetapi diam-diam kau peduli, sangat peduli

Kau tahu kawan,
Bahkan hingga bertahun-tahun aku tak pernah lupa dan tak ingin lupa
Bahwa aku pernah memilikimu

Entahlah…
Apakah kau masih seseorang yang sama?
Ataukah kini berbeda?
Ya, pasti berbeda

Kini kau hanya bayangan
Hanya imajinasiku
Kau tak pernah benar-benar ada
Kini kuragu apakah sahabat itu nyata…



Sepucuk Surat Untuk Indonesia


Sepucuk Surat Untuk Indonesia

Sepucuk surat untuk Indonesiaku
Setangkup harapan untuk negaraku
Sekeping rindu dariku untukmu negeri Indonesia

Jauh ku menghilang, akankah kembali, ah tak taulah
Bagaimanakah wajah Indonesiaku kini?
Hitam, putih, atau abu-abu seperti dulu?

Kutinggalkan dunia penuh ketidakberdayaan, lemah, terlalu lemah
Masihkan Justisia tinggal disana?
Ataukah kini Indonesiaku hidup dalam neraca justis yang timpang?

Aku kan kembali, nanti, ketika aku cukup berkuasa untuk merubahmu
Ssstt, aku sedang membangun disini
Membangun mimpi dan kekuatan untuk mencerahkan wajah Indonesiaku

Berapa Harga Keadilan?


Berapa Harga Keadilan?

Berapakah harga keadilan itu?
Haruskah kubayar dengan darah?
Berapakah harga keadilan itu?
Haruskah mati untuk mendapatkannya?

Dimanakah supremasi yang engkau elu-elukan wahai negaraku?
Dimanakah janji perlindungan itu?
Saat kami terpuruk dalam ketidakberdayaan
Adakah engkau melihat, mendengar, dan merasakan?

Saat letusan melululantahkan
Saat api melalap
Saat penjara menanti
Saat napas tinggal satu-dua

DIMANAKAH KEADILAN ITU?

Dimanakah kalian saat semua terjadi?
Apakah singgasana emas begitu melenakan bahkan untuk menengok sejenak?
Berapa harga keadilan itu?
Tak ada lagikah keadilan yang gratis tanpa nominal-nominal tebal itu?
Kurindu jiwa Indonesiaku, jiwa yang membawa surga bagi bangsa




Taubat


Taubat

Tuhan, kadang ku merasa lebih dekat denganMu
Tetapi sering ku merasa sangat jauh dariMu

Ketika gemuruh petir membisikkan peringatan
Ditambah dahsyatnya topan yang Kau kirimkan
Aku tahu alam pun geram denganku
Tetapi aku malu, malu untuk memohon ampunanMu

Batinku berperang dengan tubuhku
Aku tahu akan begini jadinya
Aku pun tahu harusnya mendengarkan senandung kalbuku
Tetapi hati itu, yang selalu memberikan kedamaian,  kini diam, membiarkanku sendiri dalam penyesalan

Seandainya bisa mengulang waktu
Inginku menjadi hamba yang bertaqwa, yang baik tempatnya disisiMu
Rasanya dosa ini terlalu besar untuk dimaafkan
Ya Allah, jangan berikan aku murkaMu
Terimalah taubatan ini…




Senandung seorang Tunawisma


Senandung seorang Tunawisma

Kukirim sehelai daun kering
Berharap Tuhan menjawab pintaku
Kutunggu hingga akhir waktu
Tapi pertolongan Tuhan tak kunjung datang

Aku lemah dan tak berdaya
Disini, dibalik rumah kardus kreasiku

Dalam alam bawah sadarku
Ada bisikan yang menghangatkan
“Datanglah ke rumah Allah, Zat Maha Sempurna menunggumu”

Secercah harapan menyemangatiku
Namun bibirku kelu, tubuhku kaku
Ada cahaya nan menyilaukan
Lambat laun mengarah padaku…

Aku tahu ia akan datang
Dan detik berikutnya mengambil rohku
Kupasrahkan semua,  seluruh hidupku
Dan di detik terakhir ini baru kusadari
Tak perlu mengirim pesan, Tuhan akan langsung menjawab pintaku


Palestina


Palestina

Palestina, apa kabarmu hari ini?
Apakah kini luka itu telah terobati?
Ataukah sudah terlanjur dalam dan menganga lebar?
Apakah telah kau temukan penawarnya?
Ataukah tak ada lagi yang mampu membuatmu tersenyum?

Setiap saat dengan letusan…
Setiap saat dengan kabut tebal…
Setiap saat dengan darah…
Setiap saat dengan kehilangan…

Puing-puing kehancuran mewarnai hari
Jiwa raga yang sulit menerima ditegar-tegarkan
Semuanya remuk redam, luluhlantah
Air mata menjadi teman sehari-hari

Bagaimanakah aku bisa melupakanmu?
Bagaimanakah aku mampu mengacuhkanmu?
Bagaimanakah aku dapat tertidur lelap sementara engkau menjerit lemah disana?

Dimanakah nurani persaudaraan itu?
Dimanakah semboyan Islam sebagai pemersatu?
Dimanakah aku saat engkau begitu rapuh tak berdaya?
Palestina, izinkan aku menjadi pengobat luka mengangamu


Friday 30 March 2012

Kau Pagiku Kau Petangku


Kau Pagiku Kau Petangku

Matahari tak pernah bersinar seperti ini
Saat engkau disampingku
Dunia tak pernah secerah ini
Saat engkau bersamaku

Ibu… kau pagiku
Mimpi-mimpi masa muda bermekaran saat aku bersamamu
Semangatku menbuncah, bahkan desir darahku dapat kurasakan
Aku hanya ingin melihat senyum itu
Yang merekah dari bibirmu saat engkau bahagia karena aku

Ibu...kau juga petangku
Ketika raga ini tak sanggup membangun mimpi
Engkau sanggup menyusun puing-puing harapanku
Kasihmu yang agung sanggup membangkitkan asa yang mati
Jiwaku hidup saat bersamamu











SOMEWORDS


SOMEWORDS

 I never know when everything lost from my life day by day
I never care when everybody come and leave
I never really hurt when this life looking like against me
That’s because of you are always by my side

You are wonder woman for me
Only you who really understand what I feel
Although we are so far, you seem can feel it
I love you, Mommy. I miss you…

You are all I have and I need
I say thank for  all of your kindness
I don’t know how to make you happy, but I’m trying
I love your smile, I love thinking about you, I love talking with you, I love everything about you

Mommy, I’m so sorry for all my wrongs
Ignoring your advice, making your tears falling down
I admit I’m not a good child
But I love you, really love you

Mom, stay with me
Never say goodbye
I’m trying to make you happy
I’ll do everything only to see your smile