Putihku putihmu putih kita
Terangmu terangku terang kita
Kawah bulat bertitik misterius
Kilau memukau misterius
Hanya matahari sahabat rembulan
Sinar surya berpadu kesucian
Hanya matahari sahabat rembulan
Sajak purnama menjadi keindahan
Monday 9 April 2012
Thursday 5 April 2012
Uselessness
Uselessness
Need about some
years to realize
Need too much
facts to believe
That I’m not the
only one
That there’s no
reason to give up
Always there’s a
way
Just keep looking
forward
Even if it seems
difficult
Still there’s a
way
How could I did
it to my self?
How could I keep
looking behind?
My future, my
success, my families, my parents,
They are all
waiting for me
Sunday 1 April 2012
Pesan Tersirat dari Tuhan
Pesan
Tersirat dari Tuhan
Ombak dan badai yang bersahut-sahutan
Kilat dan petir yang saling berpadu
Goncangan bumi dan muntahan isi
perutnya
Patahan lempeng dan tsunami yang
dibawanya
Tahukah kau pesan tersirat dari Tuhan
itu?
Idealisme yang luntur
Integritas yang punah
Kredibilitas yang dipertanyakan
Komitmen yang langka
Tahukah kau pesan tersirat dari Tuhan
itu?
Fenomena alam yang mencengangkan
Fenomena kehidupan yang memiriskan
Fenomena dunia yang porak-poranda
Fenomena hati yang memprihatinkan
Tahukah kau pesan tersirat dari Tuhan
itu?
Doctor Wanna Be
Doctor
Wanna Be
Dad…
Have
you known my reason?
White coat can cure all diseases
God
send that for save the world
Dad…
Could
you read my heart?
My
heart hurts when you get sick
And I
can do nothing for help
Dad…
Do you
dream the same dream with me?
I wish
I can be a doctor
I wish
I can care and cure you
I wish
Allah hears and makes true my dream
Saturday 31 March 2012
A Wish
A
Wish
Dunia, lihat aku disini…
Aku yang bersama air mataku terus
hanyut dalam harapan…
Hari-hari cerah untuk jiwa yang hampa…
Jiwa rapuh yang terbungkus raga
baja…
Hidupku mengalir lebih deras dari
air terjun Niagara…
Rodanya berputar lebih cepat dari
jet sekalipun…
Tak tahu kapan wish mulia itu
terkabulkan…
Tuhan, tolong jangan lelah dengar
pintaku…
Aiza
lupa puisi berjudul wish itu adalah
puisi keberapa yang ditulisnya malam ini. Beginilah aktivitas seorang Aiza saat
hatinya sedang tak karuan. Entah apa yang sedang mengganggu benaknya malam itu.
Dengan penerangan seadanya yang berasal dari lampu berkekuatan lima watt, tak
sama sekali membuatnya merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, lampu lima watt
itu adalah sahabat terbaiknya yang berjasa besar dalam mahakarya sastra yang
diproduksinya.
“Dek,
makan dulu sana. Nanti kamu sakit loh,
dari tadi nulis aja. Masih ada sisa tempe goreng tadi siang, makan gih,”
bujuk Ariz setengah memaksa. Merasa tidak mendapat tanggapan, dengan gerakan
cepat ia mengangkat dan menggendong paksa Aiza menuju ruang makan sederhana
mereka. Aiza hanya bisa berteriak-teriak dan memberontak minta diturunkan.
Beginilah kehidupan kakak beradik dari keluarga sederhana ini.
Walaupun
terus dicoba, mata Aiza tidak kunjung tertutup, padahal waktu sudah menunjukan
setengah satu pagi. Peristiwa siang tadi begitu membekas dibenaknya hingga
menjadi buah pikirannya. Kamar persegi panjang berukuran 2x3 meter bujursangkar
dengan dinding bambu itu menjadi tempat ia berkeluhkesah, mencurahkan seluruh
hasratnya, tempat dimana ia kadang
tersenyum-senyum lama sendiri, menangis haru membayangkan suatu saat yang
indah, saat secret wishnya terkabul.
Fattah,
teman sekelas Aiza siang tadi dengan berat hati harus meninggalkan sekolah. Ia
menyampaikan pengunduran dirinya dari SMA Monondok karena alasan klasik tapi
mengharukan. Adiknya sakit keras, ibunya hanya berpenghasilan sebagai buruh
cuci, sementara ayahnya pergi entah kemana sejak sebulan lalu tanpa kabar
berita sama sekali. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa Fattah harus
mengambil keputusan itu, keputusan yang menentukan masa depannya. Aiza terus
memandang Fattah hingga bayangannya hilang di ujung jalan, dilihatnya Fattah
berhenti sejenak memandang hikmat sekolah itu, kemudian menunduk dan dengan langkah
berat berjalan pulang ke peraduannya, memikirkan bagaimana ia nantinya.
“Ini
benar-benar tidak adil,” ujar Aiza pada dirinya sendiri. “Seharusnya Tuhan
mengerti dengan keadaannya, seharusnya Tuhan tahu betapa berartinya sekolah
bagi Fattah, seharusnya ini tidak perlu terjadi,” keluhnya setengah berteriak.
Air matanya jatuh berderai, Fattah teman terbaiknya, teman seperjuangannya.
Mereka sama-sama berasal dari keluarga sederhana, setiap hari berbagi suka duka
di sekolah, berdiskusi masalah pelajaran, bermain bersama, rasanya hambar tanpa
kehadiran Fattah lagi. Aiza tidak yakin ia bisa sebahagia dulu, setiap memasuki
gerbang SMA Monondok ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, rasa
yang membuat semangatnya membuncah untuk menuntut ilmu ketika melihat
teman-teman sesama pelajar di sekolah itu hilir mudik menuju kelas
masing-masing dengan seragam kebanggaan mereka, putih abu-abu kumal yang kadang
terpaksa digunakan selama tiga tahun penuh karena keadaan ekonomi yang tidak
memungkinkan.
Malam
itu pikiran Aiza bercabang-cabang. Belum tuntas memikirkan sahabatnya yang
malang, hal lain melintas di benaknya. Aiza merenungi kehidupannya yang boleh
dikatakan cukup mapan walaupun sangat sederhana. Tetapi setidaknya ia masih
bisa merasakan indahnya duduk di bangku sekolah. Syukur nikmat, itu pasti.
Karena semua berkah itu tak akan pernah singgah di kehidupannya tanpa campur
tangan Allah subhana wata’ala. Ketika tatapannya menerawang jauh, tak jelas apa
yang sebenarnya ingin dilihat, sekilas ia tanpa sengaja memandang foto ibunya
ketika sedang memanen padi di pigura tua penuh sejarah yang terpajang
berhadapan ranjang tidurnya. Senyum ibunya merekah, Aiza dapat merasakan perasaan ibunya saat itu.
Musim panen adalah waktu yang selalu dinantikan para petani, apalagi ketika
kerja keras mereka berbuah keberhasilan. Sejauh mata memandang, sawah telihat
bagaikan hamparan lautan emas, kuning-kuning biji padi bergoyang lembut tersapu
angin sepoi-sepoi. Di sana-sini para petani dengan giatnya menyabit batang padi,
keringat yang meleleh bukanlah hal yang berarti.
Melihat
foto itu, membuat sel saraf dendrit terdorong menyampaikan impuls dari indera
penglihatan ke neuron untuk dilanjutkan ke otak oleh akson, dan menghasilkan
respon haru dalam hati Aiza. Ayah dan Ibunya telah mengorbankan banyak hal
untuknya. Ia menyesal karena kadang mengabaikan kenyataan itu, kenyataan bahwa
setiap tetes keringat orangtuanya adalah setiap hembus nafasnya, nafas yang
menyambung hidupnya hingga hari ini bahkan detik ini, saat penyesalan mendalam
itu menderanya. Tak seharusnya ia membanding-bandingkan kehidupannya yang
kadang kekurangan dengan orang lain yang lebih mapan hidupnya. Padahal banyak
sekali orang di luar sana yang untuk makan pun tak mampu.
Astaghfirullahaladhim, ya Allah.
Tanggul
pertahanan matanya tak kuat lagi menampung banjir air mata yang siap meluap.
Dan akhirnya pertahanan itu jebol oleh tekanan batin yang mahadahsyat. “Aku
harus bisa membahagaikan orangtuaku, keluargaku,” ucapnya lirih. Kemudian
dengan syahdu, Aiza membuat sebuah wish yang hanya Allah dan dia yang tahu.
Wish mulia yang tak tahu kapan akan terwujud. Ia hanya berharap suatu saat wish
itu menjadi kenyataan.
Bersambung…
Gelap
Gelap
Perpisahan…
Gelap pertamaku yang menusuk
kalbu
Hilang jiwa terang, hilang
berlian asaku
Kehilangan…
Gelap keduaku yang menyayat
kalbu
Tak ada cahaya, tak ada
pencerahan
Kematian…
Gelap ketigaku yang
mencabik-cabik jiwa
Aku sesak, segalanya dirampas
dariku
Ada Allah membisikkan harapan
Meniupkan semangat
Mengelus-elus raga
Tapi aku terlalu gelap untuk
sekedar menyadarinya
Neraka Dunia
Neraka
Dunia
Kong kaling kong
Itu warna dunia kita
Penuh tipu muslihat
Sangat menarik
Neraka… Neraka… Neraka…
Tidakkah kalian sadari kita telah menjumpainya?
Tuhan telah banyak
menegur dengan caraNya
Pernahkah kita mengindahkannya?
Beliung, hujan badai, banjir bandang, gempa, gunung
meletus, kecelakaan, wabah penyakit, kelaparan
Tidakkah itu cukup membukakan mata lebar-lebar…
Tidakkah itu cukup memiriskan hati…
Tidakkah itu cukup menyadarkan kita bahwa Tuhan murka,
murka, sangat murka
Wahai manusia…
Dimanalah kita pada akhirnya berada
Mengapa begitu giat melakukan kejahatan
Mengapalah menjadikan iblis sebagai teman
Padahal banyak malaikat di sekeliling kita
Tidakkah neraka dunia cukup membuat kita ketakutan akan
neraka akhirat?
Dia Dirimu
Dia
Dirimu
Dia dirimu…
Yang sama bermimpi menjelajah
galaksi
Yang sama gilanya menerawang
angkasa
Yang
sama menderita demi menggapai bintang
Dia
dirimu…
Yang
berseri-seri saat menghayalkan mimpi
Yang
membuncahkan semangat saat ragu
Yang diam mendengar saat duka
Yang penuh petuah saat salah
Dia dirimu…
Yang mengagumkan
Yang mengejutkan
Yang penuh imajinasi
Yang penuh kehangatan
Yang penuh mimpi masa depan
Dia dirimu… kawan.
NB: For my beloved friend who
always inspiring me at all times. Huge thanks for you. Keep on fire, dreamer! Keep
istiqomah, fastabiqul khairaat!
Subscribe to:
Posts (Atom)